Berdebat Tanpa Ilmu
Suatu ketika seorang Habib mengisi kajian umum di sebuah masjid, tiba–tiba ada seorang memotong kajian sang Habib dan mengatakan “Yaa Syeikh, saya punya pertanyaan”.
“Baik nanti di akhir kajian akan kita buka sesi tanya jawab”, kata sang Habib sambil melanjutkan kajian hingga sampai pada sesi tanya jawab. Jamaah tadi pun bertanya, “Yaa Syeikh .. saya ingin bertanya, apa hukum tawassul?” Sebelum menjawab, sang Habib berpesan, “Baik,
saya akan menjawab pertanyaanmu dengan dua syarat, pertama jangan kau
potong penjelasanku, dan kedua jangan kau angkat suaramu, sebab kita
sedang berada di masjid, hormatilah rumah Allah. Jika dilanggar, akan
aku hentikan sesi tanya jawab dan akan kita tutup kajian kita.” ujar sang Habib Ali dengan penuh kelembutan dan santun.
Lalu sang Habib pun menjawab pertanyaan
tersebut dan mengeluarkan dalil-dalil Alquran dan hadis serta
kitab-kitab para ulama. Ketika para hadirin menyimak penjelasan sang
Habib, terdengar suara kegaduhan dari sang penanya dan beberapa
temannya, yang tidak menerima penjelasan sang Habib. ”Baik! sesuai kesepakatan, saya hentikan penjelasan dan saya tutup majelis ini,” ujar sang Habib seraya tersenyum melangkah keluar masjid.
Sesampainya di pintu luar masjid seorang kakek menghampiri sang Habib dan langsung memeluknya.
“Sungguh tepat tindakan anda wahai Syeikh! beberapa hari lalu ada
banyak polisi memakai sepatu dan masuk ke masjid ini guna memisahkan
perdebatan yang berujung pertikaian antar dua kelompok”, ungkap orang tua tersebut.
“Ketika melihat kedatangan polisi menggunakan sepatu ke masjid”, lanjut si orang tua, “kedua kelompok yang bertikai bereaksi, mereka marah-marah,
‘Kalian tidak sopan! tidak menghormati masjid rumah Allah! masjid ini
tempat suci lepaslah sepatu kalian’ hardik kedua kelompok yang bertikai
kepada polisi. Dengan cerdas para polisi menjawab “Kalianlah
yang tidak memiliki adab! berdebat dan bertikai di rumah Allah! jika
kalian tidak bertikai di masjid niscaya kami akan masuk masjid dengan
melepas sepatu yang kami kenakan”
Peristiwa diatas menggambarkan sang Habib
yang terdidik dengan ilmu disertai dengan adab yang sempurna sehingga
mampu menguasai hawa nafsu sehingga tidak terpancing kepada perdebatan
panjang yang berakibat pertikaian. Sang Habib itu bernama Habib Ali
al-Jufri (LIHAT DISINI)
Perdebatan itu memang salah satu teknik
untuk memperoleh ilmu, tetapi bukan teknik utama seperti halnya
argumentasi yang demontstratif (burhan), sebab perdebatan punya
tujuan berbeda dengan argumentasi. Kalau argumentasi bertujuan
membuktikan kebenaran pada lawan diskusi, maka perdebatan bertujuan
mengalahkan lawan diskusi. Namun, perdebatan berbeda dengan
berbantah-bantahan, yang umumnya dilakukan secara ngotot dan berkeras
kepala dalam mempertahankan pendapat sendiri. Akan tetapi, merupakan
usaha atau teknik dalam adu pendapat dengan menyampaikan pikiran yang
menggunakan premis-premis yang secara umum diakui dan terkenal
kebenarannya untuk membuat lawan bicaranya kalah. Karena perdebatan
menggunakan premis-premis (statemen-statemen) yang bersifat diakui oleh
umumnya orang atau lawan diskusi—walaupun belum tentu benar—, maka kita
tidak perlu membuktikan lagi kebenarannya.
Ada beberapa manfaat perdebatan,diantaranya adalah
- Untuk memperkuat pendapat sehingga lawan bicara menerimanya.
- Untuk melatih akal berdalil dengan premis-premis yang ‘diakui’ dan ‘dikenal’.
- Untuk memperoleh kebenaran dan keyakinan terhadap berbagai perselisihan yang terjadi.
- Untuk memudahkan pencari kebenaran memperoleh kebenaran dari ilmu-ilmu yang dicarinya.
- Untuk memperoleh kemenangan dalam adu pendapat.
- Untuk memberikan alternatif dalam membuktikan kebenaran dengan cara yang lebih mudah.
- Untuk menjaga diri dari pengaburan dan penipuan orang lain dalam berdebat.
Tetapi tidak semua perdebatan berguna dan
mengantarkan orang pada kebenaran, bahkan ada perdebatan yang semakin
menjauhkan orang dari kebenaran serta menimbulkan permusuhan, perdebatan
seperti ini tidak diridhai Allah swt.
Di dalam Aluran, terdapat ayat-ayat yang melarang perdebatan, pelarangan itu dikarenakan beberapa sebab, Pertama, Berdebat
untuk membela suatu yang sudah diketahui kebatilannya dengan niat untuk
mengaburkan kebenaran Allah, seperti firman Allah, “Dan mereka berdebat dengan kebatilan yang dengannya mereka meruntuhkan kebenaran” (al-Mukmin 5).
Kedua, Berdebat tentang perkara yang sudah sangat jelas kebenarannya (badihi, self evident), yang tidakmembutuhkan argumentasipanjang lebar, “Mereka mendebat kamu dalam perkara kebenaran setelah jelas kebenaran itu” (al-Anfal 6).
Ketiga, Berdebat tentang sesuatu yang mana pihak yang berdebat sama-sama tidak mengetahui persoalannya, Allah berfirman, “Begininlah
kamu, semestinya kamu berdebat dalam apa yang kamu ketahui, maka
mengapa kamu berbantahan tentang apa yang kamu tidak berilmu padanya” (Ali Imran 66).
Keempat, Memperdebatkan ayat-ayat Allah yang sudah jelas, “Tidak
ada yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah, keuali orang-orang
kafir Karena itu janganlah engkau terkeoh dengan berbagai aktivitas
mereka di negeri-negeri” (Ghafir 4).
Kelima, Berdebat tanpa argumentasi, “(Yaitu)
orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa sulthan (alasan) yang
sampai kepada mereka, Amat besar kemurkaan (bagi mereka) di sisi Allah
dan di sisi orang-orang yang beriman, Demikianlah Allah menguni mati
hati orang yang sombong dan sewenang-wenang” (Ghafir 35).
Karena itu, dalam berdebat hindarilah
kelima hal di atas, agar perdebatan itu semakin menghantarkan manusia
pada jalan kebenaran, dan jika ada yang mengajak kita berdebat dengan
tanpa ilmu, tanpa argumentasi, dan bukan untuk mencari kebenaran, maka
sebaiknya dihindari saja dan tinggalkan, seperti dicontohkan oleh Habib
Ali al-Jufri dalam kisah kita di atas